Saya pertama kali berkenalan dengan Antoine de Saint-Exupery melalui Courier Sud – pesawat pos selatan 1929, perjumpaan singkat, membekas tetapi tidak begitu dalam. Karena dulu saya masih begitu polos, kesan pertama yang saya dapatkan adalah “kamu orangnya sulit yah”. Kedua, ini buku yang-kayaknya-hasil-dari-lamunan-tapi-kok-berat. Walaupun, dari sana diam-diam saya mulai menaruh hormat. Kombinasi passion Antoine de Saint-Exupery dalam dunia penerbangan, ego dan melankolia dalam dirinya menjadi pesona tersendiri yang kuat-hadir dalam Courier Sud. Setelahnya lama sekali sampai akhirnya saya kembali dipertemukan melalui Le Petit Prince.
Le Petit Prince sukses menanamkan rasa penasaran terhadap berbagai karya Antoine de Saint-Exupery yang ditulis setelah Courier Sud dan Le Petit Prince seperti, Vol de Nuit, Terre des Holmes, dan Pilote de Guerre.
Loh, kok bisa begitu?
Membaca Le Petit Prince setelah Courier Sud membuat saya merasa melewatkan banyak sekali episode kehidupan Antoine de Saint-Exupery. (lagi-lagi) Mengapa demikian? Kalau Courier Sud merupakan sebuah perjumpaan di tempat yang sama sekali asing. Maka Le Petit Prince merupakan perjumpaan kebetulan di sore hari pada sebuah taman, setelah lama tidak berjumpa. Setelahnya kami duduk di sebuah bangku taman, alih-alih beramah-tamah dan basa-basi Antoine de Saint-Exupery justru malah mendongeng. Bukan sebuah obrolan, lebih mirip Ia berbicara sendiri kepada dirinya sendiri. Ia menumpahkan semuanya tentang hidup selama empat jam sampai matahari terbenam.
Pada ujung perjumpaan, Saya cuma bisa bilang, “Wow, anda sudah melalui banyak hal ya.”
Sementara untuk Le Petit Prince atau Pangeran Cilik ini tidak terlalu banyak yang ingin saya sampaikan. Berbagai review dan analisis tentang Le Petit Prince sudah berserakan di dunia maya. As expected, dari buku yang sudah disadur ke lebih dari 230 bahasa. Just ask our mother Google, I don’t want to ruin the excitement and spoil too much. Just hit goodreads.com for mini review atau langsung menuju The New Yorker untuk analisis yang lebih mendalam (nih linknya).
http://www.newyorker.com/books/page-turner/the-strange-triumph-of-the-little-prince
This book, I should say, is simply magical. Kalau peterpan punya banyak waktu luang di Neverland dan lebih banyak melakukan refleksi. Mungkin dia akan sampai pada kesimpulan yang sama dengan sang Pangeran yang polos. Tapi peterpan saat ini masih dipenuhi jiwa muda petualang yang jahil. Mungkin nanti kalau peterpan sudah mulai bosan. Semoga sebelum peterpan beranjak dewasa dan disibukan dengan “urusan-urusan serius”, ia sempat bertemu sang Pangeran Cilik, agar jiwa anak-anak dalam dirinya tidak mati.
Untuk sebuah cerita anak permainan simbol dan metafor dalam buku ini sungguh mempesona. Bahkan dari terjemahan Bahasa Indonesianya saja sudah terbayang bagaimana keindahan buku ini dalam bahasa aslinya, Bahasa Perancis. Melalui untaian kata demi kata, lembar demi lembar kita akan diajak menyelami dunia Si Pangeran Cilik untuk menjalani proses reflektif yang dalam, nostalgia masa lalu, sampai menerawang jauh kedepan. Toh, kalaupun kita membaca dengan berlari untuk menekan tombol skip (which is sangat disayangkan karena itulah bagian terbaik dari petualangan Si Pangeran Cilik), aftertaste yang didapatkan juga tetap saja menyegarkan dan tidak sama sekali mengurangi kemagisan dari buku ini..
Fun Fact: Selidik punya selidik menurut Raga, seorang teman dan sarjana budaya korea. Le Petit Prince merupakan bacaan wajib anak-anak di Korea Selatan dan masuk dalam kurikulum pendidikannya. Sehingga tidak mengherankan buku ini banyak numpang lewat di berbagai drama korea.
Juga kalau ingin melihat bagaimana sebuah kisah hidup dituliskan dengan cara yang berkelas. Le Petit Prince adalah salah satu rujukan yang baik. Sebuah mini oto-biografi dalam kemasan cerita anak-anak, surreal but so real!
Angkat topi buat anda Monsieur Exupery!